METODOLOGI PENAFSIRAN EMANSIPATORIS
Abstrak
Dalam studi keilmuan
Islam klasik, tafsir Al-Qur’an, selama ini bersifat single tradition,
belum dihubungkan langsung dengan realitas sosial serta problem-problem
kemanusiaan. Teks kitab suci dihadirkan menjadi pusat dan sekaligus pemegang
otoritas. Dengan demikian, yang berkuasa menyelesaikan problem-problem
kehidupan masyarakat adalah teks. Problem sosial, politik, ekonomi dan
kemanusiaan, selalu dikembalikan pada teks kitab suci. Kerangka berpikirnya
bersifat deduktif yang berpangkal pada teks. Akhirnya, tafsir cenderung
bersifat teosentris dan bahkan ideologis. Tafsir pun tercerabut dari
persoalan-persoalan kemanusiaan riil yang dihadapi umat manusia. Tuhan menjadi
lebih penting untuk dibela, sementara manusia tetap dibiarkan sengsara.
Kerja metodologis tafsir
sekarang memerlukan bantuan ilmu-ilmu sosial. Dengan memanfaatkan ilmu-ilmu
sosial, penafsir akan mampu mengurai problem-problem sosial kemanusiaan, bukan
dengan model penyelesaian dogmatik kerohanian, tetapi secara kultural dan
sosiologis. Ikhtiar inilah yang dikenal dengan tafsir emansipatoris, yakni
secara konseptual Al-Qur’an ditempatkan dalam ruang sosial dan segala
problematika kehidupan yang terjadi, sehingga sifatnya tidak lagi abstrak,
tetapi spesifik dan praksis, karena dikaitkan langsung dengan problem sosial.
Dengan metodologi tafsir
yang demikian, masalah kemiskinan, kebodohan, ketimpangan jender, politik yang
menindas rakyat kecil, korupsi, rasisme, dan masalah-masalah sosial lain,
merupakan masalah yang penting untuk dipecahkan dalam konteks tafsir kitab
suci.
Pendahuluan
Tuhan mewahyukan
Al-Qur’an kepada Muhammad Saw. bukan sekadar sebagai inisiasi kerasulan, apalagi
suvenir atau nomenklatur. Secara praksis, Al-Qur’an bagi Muhammad Saw.
merupakan inspirasi etik pembebasan yang menyinari kesadaran dan gerakan sosial
dalam membangun masyarakat yang sejahtera, adil dan manusiawi. Sebab, tujuan
dasar Islam adalah persaudaraan universal, kesetaraan, dan keadilan sosial.
Kontemplasi yang
dilakukan Muhammad Saw. di gua Hira, yang kemudian mengantarkan dirinya
memeroleh pengalaman agung—menerima wahyu dari Tuhan untuk kali
pertama—hakikatnya merupakan refleksi dan transendensi atas kenyataan-kenyataan
sosial masyarakat Arab yang timpang saat itu: sistem ekonomi yang memihak
kepada golongan kaya, dominasi laki-laki, dan otoritas sosial serta politik
memusat di tangan klan-klan yang dominan.
Dengan demikian,
Al-Qur’an saat itu terinternalisasi pada diri Muhammad Saw. yang selalu aktif
mempersiapkan diri membuka kaca mata analisis sosial dalam merespons realitas
sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi masyarakat saat itu. Wahyu yang turun
masa awal kerasulannya, misalnya, sangat lekat dengan kritik etik sosial—kritik
atas orang yang mengakumulasi kekayaan dengan tanpa batas (Qs. Al-Takâtsur:
1-8), larangan menghardik anak yatim dan menelantarkan orang miskin (Qs.
Al-Dhuhâ: 6-10)—ketimbang corak kritik teologis. Hal ini menunjukkan betapa
transformasi sosial yang dilakukan Muhammad Saw., tidak lepas dari kemampuannya
dalam membaca problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat saat itu. Dan
dengan demikian, artinya bahwa Al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya tidak lahir
dari ruang hampa yang kedap dari problem sosial, ekonomi dan politik yang
melilit masyarakat saat itu.
Kini, lima belas abad
telah berlalu. Al-Qur’an telah terkodifikasi ke dalam satu mushhaf dan
satu teks standar. Lalu, bagaimana kita mesti memahaminya dalam konteks problem
sosial yang kompleks yang kita hadapi sekarang?
Pertanyaan ini jelas
berkaitan dengan problem metodologi penafsiran. Perlu disadari, bahwa sebagai
wahyu yang telah mengalami tekstualisasi, Al-Qur’an telah menjadi teks
tertutup. Mohamed Arkoun menyebutnya sebagai corpus resmi. Artinya,
jumlah ayat dan surahnya tidak lagi bisa bertambah, pun apalagi dikurangi.
Namun, pembacaan terhadapnya, sebagai proses penggalian makna-makna konseptual
yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, tentu selaiknya tidaklah pernah
tertutup dan atau hanya dimonopoli oleh suatu komunitas tertentu secara
hegemonik. Sebab, sebagai teks, Al-Qur’an secara inhern tidaklah akan pernah
bisa ‘berbicara’ sendiri, ia mesti disuarakan dengan ‘pembacaan-pembacaan’
secara produktif. “Al-Qur’ân bayna daftayi al-mushhaf lâ yanthiqu, wa
innamâ yatakallamu bihi al-rijâl,” kata Imam Ali. Pembacaan yang produktif
ini tentu mengandaikan adanya metodologi tafsir.
Tafsir dalam Nalar
Teosentris-Ideologis
Sejauh ini dalam studi keilmuan
Islam klasik, sebagai suatu metode dalam memahami kitab suci Al-Qur’an, ilmu
tafsir termasuk dalam lingkup ilmu keislaman yang bersifat single tradition;
tidak dihubungkan secara langsung dengan ilmu-ilmu sosial. Kitab-kitab `Ulûm
al-Qur’ân yang selama ini menjadi standar dalam ilmu tafsir, secara umum
bicara dalam konteks problem teks. Belum memasuki ranah problem konteks sosial
di mana penafsir berada.[3]
Lalu, pada era sekarang muncul pemikir-pemikir baru yang merumuskan metodologi
baru dalam pembacaan teks kitab suci. Sekadar menyebut contoh, Riffat Hassan
membangun hermeneutik Al-Qur’an feminis dengan menyusun tiga prinsip
interpretasi: (1) linguistic accuracy, yaitu melihat terma dengan
merujuk pada semua leksikon klasik untuk memperoleh apa yang dimaksud dengan
kata itu dalam kebudayaan di mana ia dipergunakan, (2) criterion of
philosophical consistency, yaitu melihat penggunaan kata-kata dalam
Al-Qur’an itu secara filosofis konsisten dan tidak saling bertentangan, dan (3)
ethical criterion, yakni bahwa praktik etis sesungguhnya harus
terefleksikan dalam Al-Qur’an.[4]
Amin
al-Khuli (w. 1966 M.) ketika berhadapan dengan teks Al-Qur’an, membangun
wilayah hermeneutik teks dari unthinkable menjadi thinkable. Ia
memperlakukan teks Al-Qur’an sebagai kitab sastra Arab terbesar (Kitâb al-`Arabiyyah al-akbar), sehingga
analisis linguistik-filologis teks merupakan upaya niscaya untuk menangkap
pesan moral Al-Qur’an. Dalam usahanya ini, al-Khuli sama sekali tidak bermaksud
menyejajarkan status Al-Qur’an dengan teks sastra kemanusiaan, tetapi ia
bermaksud menemukan angan-angan sosial kebudayaan Al-Qur’an dan hidayah yang
terkandung dalam komposisinya sebagaimana telah ditangkap oleh Nabi Muhammad
SAW.[5]
Pandangan al-Khuli ini yang kemudian dikembangkan oleh Nashr Hamid Abu Zayd.
Dia berpandangan bahwa studi Al-Qur’an haruslah dikaitkan dengan studi sastra
dan studi kritis. Studi tentang Al-Qur’an sebagai sebuah teks linguistik
meniscayakan penggunaan studi linguistik dan sastra. Untuk melakukan proyek ini
dia mengadopsi teori-teori mutakhir dalam bidang linguistik, semiotik dan
hermeneutika dalam kajiannya tentang Al-Qur’an.[6]
Hassan Hanafî (lahir 1935 M.)
mengintrodusir sebuah hermeneutik Al-Qur’an yang spesifik, temporal, dan
realistik. Menurutnya, hermeneutik Al-Qur’an haruslah dibangun atas pengalaman
hidup di mana penafsir hidup dan dimulai dengan kajian atas problem manusia.
Interpretasi haruslah dimulai dari realitas dan problem-problem manusia, lalu
kembali kepada Al-Qur’an untuk mendapatkan sebuah jawaban teoretis. Dan jawaban
teoretis ini haruslah diaplikasikan dalam praksis. Teori Hanafî ini
didasarkan pada konsep asbâb al-nuzûl yang memberikan makna bahwa
realitas selalu mendahului wahyu.[7]
Dalam hermeneutik Al-Qur’an semacam ini, ilmu-ilmu sosial kemanusiaan serta
unsur triadik (teks, penafsir dan audiens sasaran teks) menjadi demikian
signifikan. Suatu proses penafsiran tidak lagi hanya berpusat pada teks, tetapi
juga penafsir di satu sisi dan audiens di sisi lain.
Dalam konteks problem
sosial kemanusiaan, model pembacaan kitab suci yang ditawarkan oleh Hassan
Hanafi di atas sungguh menarik. Sebab sejauh ini, pembacaan kitab suci dalam
sejarahnya yang amat panjang, tampak masih terasing dari realitas dan
problem-problem sosial kemanusiaan. Pada sisi lain, teks kitab suci menjadi
pusat dan sekaligus pemegang otoritas. Yang berkuasa di dalam menentukan suatu
paradigma adalah teks, ukuran untuk menyelesaikan problem-problem kehidupan
masyarakat adalah teks. Problem sosial, politik, ekonomi dan kemanusiaan,
selalu dikembalikan (sebagai bentuk penyelesaian) kepada teks kitab suci.
Kerangka berpikirnya tentu bersifat deduktif yang berpangkal pada teks dan
realitas harus sesuai dan tunduk kepada teks. Maka, tafsir sebagai metode
pembacaan kitab suci dengan demikian masuk di dalam lingkaran “peradaban teks”.
Ia sangat lekat, meminjam pemetakan Mohamed Abied Al-Jabiri, dengan al-`aql
al-bayânî atau yang oleh Mohamed Arkoun dimasukkan ke dalam al-`aql
al-lâhûtî—sama halnya dengan Kalam, Fikih, Falsafah dan tasawuf, dalam mainstream
tradisi keilmuan Islam tradisional.[8]
Dalam lingkaran peradaban
teks tersebut, sejarah perkembangan tafsir dalam konteks nalar formatifnya,
secara umum setidaknya berkisar pada dua pendulum besar.[9]
Pertama, nalar teosentris. Yaitu penafsiran kitab suci yang dominan
memusatkan diri pada tema-tema ketuhanan. Tuhan harus disucikan, diagungkan dan
tentu dibela. Maka, ketika bicara mengenai masalah keadilan, maka keadilan yang
dimaksud adalah keadilan Tuhan. Ketika bicara soal kasih sayang, maka
konteksnya selalu ditarik dalam pengertian kasih sayang Tuhan. Ketika bicara
soal kekuasaan dan kebebasan, maka yang muncul adalah kekuasaan dan kebebasan
Tuhan. Begitulah seterusnya. Dalam konteks nalar tafsir yang demikian, Tuhan
telah diletakkan sebagai subyek yang tampak dirundung banyak masalah, sehingga
harus dibela dan diperjuangkan dalam kehidupan umat manusia. Para mufasir
dengan segala kemampuannya tampil untuk membela-Nya. Itulah akhirnya, tafsir
menjadi bersifat sangat teosentris.
Membesarkan, mensucikan
dan mengagungkan Tuhan memang suatu kesadaran yang logis di dalam syariat
agama. Namun, bila kemudian sikap ini menyingkirkan kajian atas problem-problem
kemanusiaan, maka wacana tafsir hanya dikembangkan dalam mainstream
pembelaan dan pengagungan Tuhan. Al-Qur’an dan penafsirannya, akhirnya hanya
dipersembahkan untuk Tuhan. Padahal, seperti kita tahu, Al-Qur’an merupakan
petunjuk bagi kehidupan umat manusia di dunia ini, bukan untuk Tuhan. Al-Qur’an
merupakan inspirasi gerakan pembebasan dalam struktur masyarakat yang menindas,
rasis dan ahumanis, bukan sebatas praktik-praktik ritual sebagai bentuk
pengagungan Tuhan.
Tafsir era klasik sangat
didominasi dengan model tafsir teosentris ini. Polemik di kalangan para teolog
Muslim—seputar masalah sifat dan perbuatan Tuhan: apakah manusia bisa
melihat-Nya secara langsung kelak di surga, apakah Tuhan mempunyai tangan
seperti manusia, Kalam Allah makhluk atau tidak, dan seterusnya—telah mewarnai
dengan kental wacana tafsir pada masa itu. Para teolog memperdepatkan masalah-masalah
di seputar eksistensi Tuhan. Muktazilah yang sering dianggap sebagai aliran
rasionalisme di dalam Islam, pada kenyataannya rasionalisme mereka itu hanya
untuk membela keagungan dan kesucian Tuhan, bukan membela problem-problem
sosial kemanusiaan yang dihadapi umat Islam pada saat itu. Secara praksis,
tafsir saat itu telah mengabaikan persoalan-persoalan sosial kemanusiaan serta
menjadi kehilangan spirit pembebasan dalam mengurai problem sosial kemanusiaan
tersebut.
Yang kedua, nalar
tafsir ideologis. Yakni pembacaan atas kitab suci yang telah berorientasi pada
problem-problem manusia, tetapi masih bersifat abstrak dan intelektualis, tidak
substansial dan tidak mengacu secara langsung pada problem kemanusiaan yang
dihadapi umat. Tafsir ideologis ini berkutat pada pengukuhan atas paham, aliran
dan madzhab tertentu, baik itu dalam konteks fikih, teologi maupun tasawuf.
Tafsir ideologis ini tidak hanya bersifat teosentris, tetapi yang tampak
dominan adalah membela aliran dan madzhab tertentu yang berkembang di dalam
sejarah umat Islam. Nalar tafsir ini secara tendensius membela aliran dan
keyakinan tertentu yang hidup di dalam masyarakat Islam. Maka, muncullah aliran
tafsir Sunni, tafsir Syi`ah, tafsir Muktazilah, begitu juga dalam konteks
hukum, muncul tafsir yang membela madzhab-madzhab fikih.[10]
Misalnya, kalangan
Syi’ah memaknai surah Al-Rahmân: 19-22, marajalbahraini
yaltaqiyân, bainahumâ barzakhullâyabghiyân, fabiayyiâlâirabbikumâ tukadzdzibân,
yakhruju minhumal lu`lulu wal marjân—Dia memberikan dua lautan mengalir, yang
keduanya kemudian bertemu antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui. Dari
keduanya keluar mutiara dan marjan”, dua lautan dimaknai dengan Ali dan
Fatimah; barzakh (batas) adalah Muhammad; mutiara dan marjan adalah Hasan dan
Husain.[11]
Al-Qusyairi menakwilkan ayat yang sama sebagai berikut: Allah menjadikan dua
lautan hati, yaitu lautan khauf dan lautan rajâ’. Mutiara dan
marjan adalah kondisi psikologis dan rahasia-rahasia spiritual kaum sufi.[12]
Nalar tafsir ideologis
maupun teosentris telah terjadi sangat lama dalam sejarah umat Islam, dan
melapuk di dalam sistem kesadaran mereka. Dalam rentang waktu yang lama
tersebut, tafsir ideologis telah memunculkan pertarungan ideologi dan
pertarungan madzhab, baik di dalam bidang teologi, fikih, filsafat maupun
tasawuf. Mereka saling rebut ayat kitab suci lalu ditafsirkannya secara
ideologis, untuk mengukuhkan paham-paham mereka. Akhirnya, yang muncul adalah
apa yang disebut Nashr Hâmid Abû Zayd sebagai qirâ’ah al-mughridhah
atau tafsir ideologis (talwîn).[13]
Orang membaca Al-Qur’an secara tendensius, diletakkan dalam kerangka ideologi
yang telah dibangunnya terlebih dahulu, tanpa mempunyai pijakan epistemologis
yang kuat terhadap gagasan pokok kitab suci. Sehingga, yang tampak seakan-akan
ada ayat-ayat Al-Qur’an yang pro aliran Qadariah dan pada sisi lain ada
ayat-ayat yang pro aliran Jabariah.[14]
Fakta ini di dalam sejarah bukan hanya akan menampilkan Al-Qur’an dalam
kerangka yang ambigu, tetapi bahkan yang lebih telak, menjadikan Al-Qur’an kehilangan
elan vital-nya di dalam mengurai dan mencari penyelesaian atas
problem-problem kehidupan dan sosial umat manusia.
Meski kedua nalar tafsir
tersebut telah berlangsung lama dalam sejarah umat Islam, tetapi tidak
memberikan sumbangan penting terhadap proses humanisasi di tengah problem riil
masyarakat Muslim, karena keduanya tidak mempunyai konsern dan tidak terkait
langsung dengan proses formasi sosial. Peran yang diambilnya, bila kita merujuk
pada tradisi fikih yang selama ini telah terbentuk, sebatas pada masalah
kontrak sosial antarindividu, belum masuk ke ranah bangunan sistem sosial,
politik dan kekuasaan yang membentuk formasi sosial.
Problem
Kemanusiaan sebagai Lokus Tafsir
Kitab suci Al-Qur’an
memang bersifat interpretatif. Sebagian umat Islam sering berdebat pada
perbedaan interpretasi, seperti yang terlihat di dalam dua nalar tafsir di
atas. Tapi, kita sadar bahwa problem umat Islam sekarang bukan sekadar problem
interpretasi, tetapi lebih riil, kita sekarang sedang menghadapi suatu realitas
sosial yang menindas, timpang, dan tidak manusiawi: terjadi ketidakadilan
relasi antara laki-laki dan perempuan, kemiskinan, kebodohan, terpuruknya kaum
petani, nelayan, dan buruh, serta masalah-masalah sosial yang lain.
Untuk menghadapi
problem-problem sosial yang akut tersebut, pertanyaan mendasar sekarang adalah
bagaimana secara konseptual tafsir mesti dibangun? Melampaui dua nalar tafsir
di atas—yang tidak punya fungsi di dalam menghadapi problem-problem sosial yang
sedang dihadapi umat Islam—maka kita mesti mengarahkan lokus penafsiran teks
kitab suci Al-Qur’an, pertama-tama ke arah problem-problem sosial kemanusiaan.
Namun, pilihan langkah ini bukan tanpa masalah. Sebab, bergumul dengan kitab
suci, kita selalu dihadapkan dengan suatu kepercayaan umat Islam yang sangat
kuat bahwa Al-Qur’an seabadi Tuhan sendiri, ia ada selama Tuhan ada. Kita pun
bertanya, mana yang lebih dahulu, firman atau umat manusia? Bukankah firman
diwahyukan Tuhan kepada umat manusia? Lalu, dari mana kita mesti memulai usaha
penafsiran Al-Qur’an: dari teks atau konteksnya, di tengah problem sosial
kemanusiaan sekarang ini? Inilah pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh Farid
Esack. Dia menghadapi dan mengalami langsung suatu problem kemanusiaan, berupa
rezim Apartheid di Afrika Selatan dan eksklusivisme beragama yang terjadi di
tanah kelahirannya. Dia pun kemudian bersikap tegas: memilih hermeneutika
pembebasan dan pluralisme untuk menghidupan firman Tuhan di bumi kelahirannya.[15]
Nah, bila lokus
pembahasan kita adalah problem sosial kemanusiaan, maka tafsir menjadi penting untuk digerakkan ke arah
praksis kehidupan sosial umat. Jadi,
orientasi nalar tafsir tidak lagi bersifat teosentris atau pun ideologis, tetapi
bersifat antroposentris. Tafsir yang
memilih lokusnya pada problem kemanusiaan dan praktik pembebasan inilah yang
oleh Masdar F. Mas’udi diistilahkan dengan nalar tafsir emansipatoris.[16]
Pilihan istilah emansipatoris, menurutnya tidak lepas dari sejarah teori
kritis. Dalam kritisisme ada dua elemen. Pertama, perhatian realitas
material, yaitu sebuah pemikiran yang mempertanyakan ideologi hegemonik yang
bertolak pada kehidupan riil dan material atau mempertanyakan hegemoni yang
bertolak pada realitas empirik. Kedua, visi struktur (relasi-relasi),
baik relasi kekuasaan dalam dunia produktif (majikan-buruh), maupun relasi
hegemonik, dalam hubungan pemberi dan penerima narasi (ulama-umat), maupun
relasi politik (penguasa-rakyat).[17]
Karena mengacu dan
bertitik tolak pada realitas problem kemanusiaan kontemporer, maka tafsir
emansipatoris ini paradigmanya bukan lagi terpaku pada pembelaan terhadap
Tuhan—karena memang Tuhan tak butuh pembelaan kita—tetapi yang lebih utama
adalah secara praksis membangun komitmen terhadap berbagai problem sosial
kemanusiaan. Komitmen ini diwujudkan dalam bentuk aksi sosial dalam rangka
membangun dan menegakkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan.
Sehingga, gerakannya ke arah praksis pembebasan manusia; bukan dari kungkungan
dogmatisme maupun ideologi, tetapi dari struktur sosial politik yang menindas,
yang dengan transparan telah memunculkan kemiskinan, kebodohan, marjinalisasi
perempuan, dan problem-problem sosial lain. Tafsir emansipatoris dengan
demikian, berikrar menghidupkan elan vital gerakan sosial yang bergerak
pada problem-problem sosial kemanusiaan. Secara integral, tafsir emansipatoris
tidak berhenti pada pembongkaran teks, tetapi teks dijadikan sebagai sarana
pembebasan. Sebab, realitas dominasi tidak hanya pada wilayah wacana, tetapi
juga dominasi bersifat riil dan materiil.[18]
Dan kita sepenuhnya sadar bahwa peran Al-Qur’an adalah sinar bagi sistem
kehidupan yang adil, beradab dan berperikemanusiaan.
Kita patut bangga, orang
menuntut agar Al-Qur’an dijadikan sebagai referensi moral dan daya gugah.
Namun, di tengah riuhnya tuntutan tersebut, muncul ambivalensi: yaitu
intensitas ritual keagamaan menjadi sangat romantik dan marak, namun dalam
kehidupan sehari-hari belum mampu melahirkan kesalehan diri, apalagi kesalehan
sosial. Kehidupan beragama tampak meriah dalam rutinitasnya, namun tanpa
disertai dengan keprihatinan dan tanggung jawab sosial. Maka yang terlihat,
agama hanya sebatas sebagai medan penyelamatan personal, tidak sebagai
keberkahan sosial. Tuhan, dengan sifat kasih dan sayangnya, tidak
(di)hadir(kan) dalam ruang problem sosial. Padahal, agama tanpa tanggung jawab
sosial, kata Muslim Abdurrahman, sama artinya dengan pemujaan belaka. Sebab,
hanya dengan tanggung jawab sosial, agama dengan semangat profetisnya akan
terintegrasikan dengan problematika sosial yang nyata. Di dalam problem sosial
itulah seseorang justru akan menemukan basis ketakwaannya dalam bentuk praksis
solidaritas sosial kemanusiaan.[19]
Inilah makna juga yang dimunculkan oleh Ali Asghar Engineer dalam rumusan
teologi pembebasannya.[20]
Merajut
Wahyu dengan Ilmu-ilmu Sosial
Dalam konteks terjadinya
ambivalensi tersebut, tafsir yang secara metodologis selama ini hanya berada
dalam lingkaran islamic studies yang kental dengan nalar teosentris (al-`aql
al-lâhûtî), maka meniscayakan adanya kebutuhan terhadap ilmu-ilmu sosial.
Maka, tafsir tidak lagi dikungkung dalam peradaban teks, tetapi mesti dirajut
dengan peradaban ilmu (science) yang oleh Arkoun disebut sebagai al-`aql
al-târihî wa `ilmiy. Sebab, memahami fenomena dan problem sosial
yang dihadapi manusia kontemporer sangat terkait dengan ilmu budaya, yang
mengungkap masalah yang terkait dengan ide dan nilai yang dianut di dalam
kelompok masyarakat; dan ilmu sosial yang terkait dengan sistem dan interaksi
kelompok di dalam masyarakat. Untuk mengetahui dan mengurai problem sosial
kemanusiaan di tengah masyarakat, kita bukan menggunakan analisis kerohanian
yang abstrak, seperti yang selama ini lebih sering terjadi, tetapi haruslah
dengan menggunakan kacamata analisis sosial. Hal ini penting untuk merumuskan
pemahaman keagamaan mengenai problem kemanusiaan, merefleksikannya secara
kritis, menteoritisasikan dalam bentuk perubahan, dan aksi perubahan itu
sendiri.[21]
Salah satu contoh adalah
ketika orang menguraikan masalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan suatu hal
yang dibenci di dalam agama Islam. Tindakan
menelantarkan kaum miskin, oleh agama Islam juga dipandang sebagai
tindakan yang tidak etis. Namun, sebagian orang seringkali menggunakan analisis
kerohanian di dalam mengurai dan menjelaskan problem kemiskinan, yakni dikaitkan
dengan soal kualitas ketakwaan umat yang lemah. Lemahnya ketakwaan inilah yang
diklaim sebagai penyebabnya. Diagnosa seperti ini jelas membingungkan. Kita
tahu bahwa masalah kemiskinan merupakan masalah sosial dan kongkret, namun
penyebabnya tiba-tiba dengan mudah dituduhkan pada soal ketakwaan yang abstrak.
Kita tahu bahwa sekarang ini mesjid didirikan di mana-mana—Pak Harto bahkan
pernah membuat proyek mesjid Pancasila di seluruh Indonesia—, acara pengajian
diselenggarakan di berbagai tempat, acara santapan rohani bahkan telah menjadi
trend dalam dunia entertaint, tapi toh kenyataannya kemiskinan justru semakin
kuat melilit umat Islam.
Nah, kita pun akan
bertanya kembali agak lebih keras: apa sesungguhnya penyebab kemiskinan dan
bagaimana cara penyelesaiannya? Diagnosa dengan jalan kerohanian di atas,
tampaknya memang tidak relevan, atau bahkan memang keliru. Sebab, kemiskinan
lebih merupakan problem sosial. Sebagai problem sosial, maka masalah kemiskinan
akan terlihat jelas faktor-faktor penyebabnya, bila dilihat dengan analisis
sosial. Pada kenyataannya, penyebab kemiskinan bukan hanya soal ketakwaan—yang
abstrak tersebut, tetapi menyangkut struktur relasi sosial di masyarakat yang
timpang. Maka, di sini akan terlihat bahwa kemiskinan terjadi bisa disebabkan
karena adanya monopoli ekonomi yang dilakukan oleh kalangan konglomerat,
kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh penguasa yang tidak memihak kepada
kepentingan masyarakat umum, dan atau bisa juga tidak adanya sikap dinamis dan
progresif di kalangan umat itu sendiri.
Dalam konteks ini, maka
penyelesaian masalah kemiskinan, tentu tidak cukup dengan pendekatan kerohanian
yang abstrak—lewat adagium-adagium yang tampak religius, seperti sabar,
tawakal, lapangdada menerima takdir Tuhan, dan seterusnya. Penyelesaian semacam
ini jelas hanya akan menyesatkan dan mengasingkan agama serta kitab sucinya
dari problem riil yang dihadapi umat manusia. Agama hanya jadi opium bagi
pemeluknya. Nah, ilmu-ilmu sosial dalam tafsir emansipatoris dapat membantu
kita di dalam mendiagnosa dan memahami problem sosial kemanusiaan yang dihadapi
umat manusia tersebut.
Dalam contoh kasus
kemiskinan di atas, kita bisa mengurainya dari kasus perkasus. Bila kemiskinan
disebabkan oleh adanya monopoli di kalangan kongklomerat dengan menguasai
sentra-sentra ekonomi, maka penyelesaiannya adalah perlu adanya sistem
distribusi ekonomi yang adil, baik dalam bentuk pembayaran pajak maupun
membangun jaringan kerja antara industri kecil dan kalangan konglomerat,
sehingga kekayaan tidak akan hanya berputar di kalangan konglomerat saja. Yang
kedua, bila kemiskinan disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang tidak
adil, yang justru berpihak pada pengusaha besar, maka dalam faktor ini harus
ada kritik struktural terhadap pemerintah di dalam pembuatan
kebijakan-kebijakannya terkait dengan masalah-masalah ekonomi. Dan yang ketiga,
bila masalah kemiskinan terjadi disebabkan oleh tidak produktifnya masyarakat
di dalam menjalani hidup, maka perlu adanya penyadaran tentang perlunya
semangat hidup yang dinamis dan progresif dengan berbagai pelatihan dan
pengembangan skill.
Analisis semacam ini bisa
terjadi tidak lepas dari bantuan ilmu-ilmu sosial. Dengan memanfaatkan
ilmu-ilmu sosial, penafsir kitab suci Al-Qur’an akan mampu menemukan dan
mengurai problem-problem sosial kemanusiaan, bukan dengan model penyelesaian
kerohanian, tetapi dengan analisis sosial dan kultural. Merefleksikan
problem-problem tersebut secara sosial, moral, dan teologis, lalu
menteoritisasikan perubahan sebagai landasan aksi pembebasan.
Tafsir
Bersifat Spesifik dan Praksis
Maka, tafsir
emansipatoris, secara konseptual menempatkan Al-Qur’an dalam ruang sosial di
mana penafsir berada, dengan segala problematika kehidupannya, sehingga
sifatnya tidak lagi terkait dengan sosio-kultural kearaban dan abstrak—yang
sebagiannya secara tradisional terekam di dalam asbâb al-nuzûl—tetapi
bersifat spesifik dan praksis yang dikaitkan langsung dengan problem-problem
sosial kemanusiaan yang dihadapi masyarakat, pada saat di mana proses tafsir tersebut
dilakukan.[22]
Kasus yang dialami oleh Farid Esack yang kemudian dia membangun hermeneutika
pembebasan dan pluralisme, dan Amina Wadud Muhsin yang membangun hermeneutika
kesetaraan jender, adalah dua contoh yang baik dalam masalah tersebut.
Dalam kerangka ini, kita
harus mampu mengubah pandangan “normatif” atas teks kitab suci Al-Qur’an
menjadi rumusan “teoretis” (teori ilmu).[23]
Misalnya, dalam memahami ayat-ayat tentang orang fakir miskin, secara tekstual
seringkali kita hanya melihatnya sebagai kelompok yang harus dikasihani dan
berhak menerima zakat-sedekah (Qs. Al-Taubah [9]: 60) dan sebagai peminta-minta
yang tidak boleh dihardik (Qs. Al-Dhuha [93]: 10). Dengan pendekatan teoretis
(meminjam teori-teori sosial), sebagaimana dicontohkan di atas, kita akan
mengetahui kalangan fakir miskin secara lebih real, lebih faktual, sesuai
dengan kondisi sosial, ekonomi dan kultural.
Penafsiran Al-Qur’an, di
sini lalu pertama-tama bersifat exegesis, yaitu mengeluarkan wacana dari
Al-Qur’an (reading out) dan kemudian eisegesis, yaitu memasukkan
wacana ‘asing’ ke dalam Al-Qur’an (reading into).[24]
Mengeluarkan wacana dari Al-Qur’an maksudnya adalah merumuskan masalah-masalah
moral sosial di dalam Al-Qur’an. Misalnya, soal kemiskinan, kebodohan, jender,
rasialisme, diungkap dari dalam teks kitab suci Al-Qur’an. Kemudian, secara
teoretik konseptual, problem-problem tersebut direfleksikan secara kritis
dengan menggunakan analisis ilmu-ilmu sosial. Dengan cara inilah,
problem-problem sosial kemanusiaan tersebut bisa diurai secara komprehensif,
praksis dan riil. Dan di sinilah kita akan menemukan elan pembebasan
Al-Qur’an.
Ketika kita mendengarkan
suara adzan yang dikumandangkan, sebagai norma religius, kita bukan sekadar
perlu mendengarkannya. Tetapi, juga harus merefleksikannya ke dalam norma
sosial. Panggilan suci yang mengagungkan Tuhan tersebut, secara implisit dalam
konteks norma sosial dan historis, menurut Raof Khoury, berarti: berilah sanksi
kepada para lintah darat yang tamak! Tariklah pajak dari mereka yang menumpuk-numpuk
kekayaan! Sitalah kekayaan para tukang monopoli yang mendapatkan kekayaan
dengan cara mencuri! Sediakanlah makanan untuk rakyat banyak! Bukalah pintu
pendidikan lebar-lebar dan majukan kaum wanita….berikan kebebasan, bentuklah
majelis syura yang mandiri dan biarkan demokrasi yang sebenar-benarnya
bersinar.
[25]
Dari
Praksis ke Refleksi
Proses tersebut
menjadikan gerakan tafsir tidak lagi bersifat top-down, yang berangkat
dari refleksi (teks) ke praksis (konteks), tetapi sebaliknya bersifat bottom
up, yaitu dari bawah ke atas: dari praksis (konteks) menuju refleksi
(teks). Dengan pandangan yang demikian, pengertian “konteks” teks kitab suci
tidak hanya dilihat dalam konteks struktur teks (siyâq al-kalâm), juga
tidak hanya dalam pengertian konteks di mana teks tersebut diturunkan (siyâq
al-tanzîl). Namun, pengertian konteks juga dipahami dalam ruang sosial
budaya di mana penafsir hidup dengan pengalaman budaya, sejarah dan sosialnya
sendiri. Sebab, pada saat itu, penafsir tidak hanya berhadapan dengan teks
kitab suci, tetapi dia juga—dan ini yang lebih penting—berhadapan dengan
realitas sosial, sebagai teks sosial yang selalu hidup dan berkembang.[26]
Dalam kerangka ini,
pemahaman atas konsep asbâb al-nuzûl bukan hanya dalam pengertian
tradisional yang selama ini dipahami—yaitu sebab turunnya ayat Al-Qur’an yang
diriwayatkan para sahabat dari Nabi Saw—tetapi secara konseptual juga dalam
pengertian problem dan realitas kultural, sosial, ekonomi dan politik pada saat
ayat diturunkan. Dengan cara yang demikian ini, kita bisa mengurai problem
kultural, sosial, ekonomi dan politik yang terjadi di masyarakat Arab saat
Al-Qur’an diturunkan dengan analisis ilmu-ilmu sosial. Lalu, dikaitkan dengan
problem-problem sosial, ekonomi dan politik yang terjadi di tengah kehidupan
penafsir saat ini. Di sinilah, secara komprehensif kita akan merumuskan
mengenai problem kemanusiaan dan cara menyelesaikannya.
Dengan demikian, hal yang
mendasar dalam tafsir emansipatoris adalah mengenai tujuan dari penafsiran. Di
sini, sebagaimana dalam hermeneutika pembebasan Hassan Hanafi, Al-Qur’an
dipahami secara spesifik, tematik, dan temporal. Penafsiran Al-Qur’an haruslah
berdasarkan atas pengalaman hidup di mana penafsir hidup dan dimulai dari
kajian atas problem-problem manusia yang muncul pada saat itu. Sebab, pada
dasarnya, realitas mendahului wahyu, sebagaimana yang kita lihat dalam konsep asbâb
al-nuzûl. Maka, interpretasi haruslah bertolak dari realitas, lalu kembali
kepada wahyu yang secara teoretis sebagai sinar pembebasan, dan kemudian harus
berujung pada tindakan praksis.[27]
Maka, dalam kasus ini
kita harus mengubah pemahaman atas tema-tema pokok dalam Al-Qur’an yang
“a-historis” menjadi “historis”. Misalnya, selama ini, kisah-kisah dalam
Al-Qur’an dipahami secara a-historis. Padahal, maksud Al-Qur’an mengisahkan
cerita tersebut agar kita berpikir historis. Misalnya, kisah tentang penindasan
Fir’aun terhadap bangsa Israel, hanya dipahami pada konteks zaman itu. Padahal,
kaum yang tertindas ada di sepanjang zaman, termasuk saat ini, saat kita hidup.
Penyembahan berhala yang dilakukan oleh kaum Nabi Ibrahim, bukan hanya terjadi
pada saat itu, tetapi juga terjadi di sepanjang zaman. Bahkan, berhala-berhala
pada era sekarang semakin berkembang; misalnya berhala itu dalam bentuk
kekuasaan, kapital, pemikiran dan yang lain.
Setelah itu, dalam
konteks memahami dasar-dasar tindakan moral juga mesti diubah: dari cara
berpikir “subjektif” ke arah cara berpikir “objektif”. Misalnya, konsep moral
tentang tujuan menunaikan zakat, Al-Qur’an menegaskan sebagai “pembersihan”
harta dan jiwa kita (Qs. Al-Taubah [9]: 103), atau dalam konteks ancaman.
Misalnya adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Mâ min shahibi
kanzin la yuaddî zakâtahu illâ uhmia `alaihi fî nâri jahannama,
fayuj`alu shafâ’iha fatukwâ bihâ janbahu wa jabhatuhu—seseorang
yang menyimpan hartanya, tidak dikeluarkan zakatnya, akan dibakar dalam neraka
jahanam. Baginya akan dibuatkan setrika dari api, lalu dipakai menyetrika
lambung dan dahinya.”[28]
Jelas, perintah itu arahnya adalah sisi subjektif. Tetapi, sisi objektif tujuan
penunaian zakat adalah demi kesejahteraan sosial. Dari arah objektif inilah
lalu bisa kita kembangkan pada kasus-kasus yang lain, seperti larangan menumpuk
kekayaan, menghardik orang miskin dan menyia-nyiakan anak yatim.
Terkait dengan ini,
formulasi wahyu yang bersifat “umum” mesti dipahami dalam konteks “spesifik”
dan “empiris”. Misalnya, Al-Qur’an mengecam orang-orang yang menumpuk-numpuk
kekayaan secara pribadi sehingga kekayaan berputar hanya di kalangan kaum kaya.
Kita perlu mengartikan pernyataan wahyu tersebut pada pengertiannya yang
spesifik dan empiris. Ini berarti kita mesti menerjemahkan pernyataan itu ke
dalam realitas sekarang, yaitu adanya monopoli dan oligopoli dalam kehidupan
ekonomi dan politik; adanya penguasaan kekayaan oleh kalangan tertentu di
lingkungan elite yang berkuasa. Dan juga memahami wahyu yang bersifat
“individual” ini ke arah yang “struktural”. Dalam contoh kasus di atas,
kekayaan yang hanya memusat pada satu orang atau kelompok, sesungguhnya
bukanlah semata-mata masalah individual tetapi juga menyangkut masalah
struktural, yaitu kebijakan-kebijakan yang tidak membela kepentingan rakyat
kecil.
Penutup
Dari uraian di atas,
terlihat bahwa tafsir emansipatoris memperlakukan teks kitab suci dalam ruang
refleksi kritis sekaligus diaplikasikan dalam ranah praksis, bukan hanya secara
moral tetapi juga struktural. Di sini, teks kitab suci digunakan sebagai alat
untuk mempertajam kesadaran nurani dalam melihat, mempersepsikan dan sekaligus
memecahkan problem-problem sosial kemanusiaan. Prinsip interpretasi atas teks
kitab suci, di sini secara linguistik haruslah bersifat komprehensif dan
filosofis. Dan dalam konteks praksis, teks kitab suci secara etik pembebasan
harus terrefleksikan dalam kehidupan umat manusia.
Cara memahami wahyu
sebagaimana diuraikan di atas akan mampu mengungkap signifikansi yang implisit
di dalam teks Al-Qur’an, yang tak terkatakan di dalam struktur wacana teks.
Kita akan mampu memunculkan tema-tema sosial yang selama ini menjadi problem
sosial masyarakat dan belum diangkat dengan tegas di dalam wacana tafsir secara
komprehensif dengan basis ilmu sosial. Maka, tafsir emansipatoris bukan hanya
mengurai masalah ketidakadilan, deskriminasi jender, pembebasan umat yang
tertindas, baik secara ekonomi, politik, maupun ras. Tetapi, tafsir
emansipatoris juga akan membuka pintu dalam pembahasan masalah korupsi, suap, money
politics, hibah kepada pejabat, kolusi, nepotisme, perburuhan, petani,
nelayan dan masalah-masalah sosial lainnya, sekaligus bagaimana gerakan
penyelesaiannya.
Semuanya ini tentu
membutuhkan kesadaran kita, bahwa teks kitab suci bukanlah satu-satunya alat
dalam mencerahkan kemanusiaan, tetapi ia juga membutuhkan ilmu-ilmu lain di
dalam mengurai problem kemanusiaan yang terus berkembang. Sebab, mesti disadari
bahwa teks apa pun, termasuk teks Al-Qur’an, tidak dapat membangun dan
menegakkan peradaban manusia secara sendirian. Yang membangun dan menegakkan
peradaban manusia sesungguhnya adalah proses dialektika manusia dengan realitas
di satu pihak, dan dengan Al-Qur’an di pihak yang lain.
Bertemu Tuhan tidak harus
di tempat-tempat suci atau menghitung tasbih sambil melafalkan nama-nama-Nya,
tetapi juga perlu dilakukan di ruang-ruang sosial: menolong orang yang
tertindas, mengentaskan orang miskin dari jurang kemiskinan, membebaskan
masyarakat dan kebodohan. Karena memang demikian inilah iman dipraksiskan.[]
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman,
Muslim. Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Abû
Zayd, Nashr Hâmid. Naqd al-Khithâb al-Dînî, Kairo: Sina li
al-Nashr, 1994.
Al-Ausi,
`Ali. al-Thabâthabâ’i wa Manhajuhu fî Tafsîrih, Teheran: Mu`âwanah
al-Riâsah lil`Alâqah al-Daulah fî Mundzimah al-Â`lam al-Islâmî, 1985.
Al-Jâbirî,
Muhammad `Âbid. Bunyah al-‘Aql al-‘Arabî: Dirâsah Tahlîliyyah
Naqdiyyah li Nuzhûm al-Ma`rifah fi al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah, Beirut:
Al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabî, 1993.
Al-Qaththân,
Mannâ’ al-Khalîl. Mabâhits fî `Ulûm al-Qur’ân, t.tp.: Mansyûrât
al-`Ashr al-Hadîts, 1973.
Al-Rûm,
Fahd ibn `Abdurrahmân ibn Sulaimân. Ittijâhât al-Tafsîr fî Qarn
al-Râbi` `Asyr, Riyad: Maktabah Rusyd, 2002.
Al-Shâbûnî,
Muhammad `Ali. al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Âlam
al-Kutub, t.th.
Arkoun,
Mohamed. al-Fikr al-Ushûlî wa Istihâlah al-Ta’shîl, Beirut: Dar
al-Saqi, 2002.
Brenner, Louis (ed.), Muslim Identity and Social
Change in Sub-Saharian Africa, 1993.
Engineer,
Asghar Ali. Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Esack,
Farid. “Contemporary Religious Thought in South Africa and The Emergence of
Qur’anic Heremeneutical Notions”, dalam ICMR., Vol. 2, no. 2, Desember
1991.
Esack,
Farid. Qur’an, Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of
Interrelegious Solidarity against Oppression, 1997. dialihbahasakan ke
dalam bahasa Indonesia berjudul Membebaskan yang Tertindas, terj. Watung
A. Budiman, Bandung: Mizan, 2000.
Gusmian,
Islah. Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika hingga Ideologi,
Jakarta: Teraju, 2003.
Hanafî, Hassan. Dirasât Islâmiyyah,
Kairo: Maktabat al-Anjilu al-Mishriyyah, 1981.
Hassan,
Riffat. “Women’s Interpretation of Islam”, dalam Hans Thijsen (ed.), Women
and Islam in Muslim Society. The Hague: Ministry of Foreign Affairs, 1994.
Ichwan,
Moch Nur. Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, Teori Hermeneutika Nasr Abu
Zayd, Jakarta: Teraju, 2003.
Jansen,
J.J.G. The Interpretation of the Koran in Modern Egypt. Leiden:
E.J.Brill, 1974. Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim
dan Syarif Hidayatullah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Kuntowijoyo.
Paradigma Islam, Bandung: Mizan, 1991.
Mas’udi,
Masdar F. “Eksplorasi Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris”, Makalah,
2002.
Mas’udi,
Masdar F. “Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris” Kata Pengantar dalam
Veri Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk Praksis
Pembebasan, Jakarta: P3M, 2004.
Mas’udi,
Masdar F. “Rekonstruksi Al-Qur’an di Indonesia”, Makalah yang
dipresentasikan pada acara Semiloka FKMTHI di gedung PUSDIKLAT Muslimat NU,
Pondok Cabe, Jakarta Selatan, 2003.
[1] Makalah ini dipresentasikan dalam acara Annual Conference
Kajian Islam 2006 yang diselenggarakan oleh Departemen Agama RI di Lembang
Bandung, 26-30 November 2006.
[2] Dosen Jurusan Ushuluddin STAIN Surakarta.
[3] Ini bisa dilihat dari berbagai kitab `Ulûm al-Qur’ân yang
selama ini menjadi standar, misalnya Mannâ’ al-Khalîl al-Qaththân, Mabâhits
fî `Ulûm al-Qur’ân (t.tp.: Mansyûrât al-`Ashr al-Hadîts, 1973); Muhammad
`Ali al-Shâbûnî, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Âlam al-Kutub,
t.th.).
[4] Riffat Hassan, “Women’s Interpretation of Islam”, dalam Hans
Thijsen (ed.), Women and Islam in Muslim Society (The Hague: Ministry of
Foreign Affairs, 1994), h. 116.
[5] Selengkapnya lihat, J.J.G. Jansen, The Interpretation of the
Koran in Modern Egypt (Leiden: E.J.Brill, 1974). Edisi Indonesia,
Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif
Hidayatullah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997).
[6] Tentang Abu Zayd dalam konteks studi Al-Qur’an baca kajian Moch Nur
Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, Teori Hermeneutika Nasr Abu
Zayd (Jakarta: Teraju, 2003). Buku ini berasal dari tesis penulisnya yang
ditulis dalam program S2 di Universitas Leiden Nederland dalam bahasa Inggris
yang kemudian diindonesiakan oleh penulisnya sendiri.
[7] Hassan Hanafî, Dirasât Islâmiyyah (Kairo:
Maktabat al-Anjilu al-Mishriyyah, 1981), hlm. 69.
[8] Mohamed Arkoun, al-Fikr al-Ushûlî wa
Istihâlah al-Ta’shîl (Beirut: Dar al-Saqi, 2002), h. 308.
[9] Masdar F. Mas’udi, “Rekonstruksi Al-Qur’an di Indonesia”, Makalah
yang dipresentasikan pada acara Semiloka FKMTHI di gedung PUSDIKLAT
Muslimat NU, Pondok Cabe, Jakarta Selatan, 2003, h. 4. Pemetaan tipologi nalar
ini berbeda dengan yang selama ini terjadi dalam aliran-aliran tafsir yang
dirumuskan berdasarkan ruang lingkup keilmuan. Misalnya, ada tafsir fiqhi,
tafsir sufi, tafsir falsafi, tafsir lughawi, tafsir al-`aqdi, tafsir
al-bathini, tafsir bi al-matsur, dan tafsir bi al-ra’yi. Lihat, Muhammad
`Ali al-Shâbûnî, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Âlam al-Kutub,
t.th.); `Ali al-Ausi, al-Thabâthabâ’i wa Manhajuhu fî Tafsîrih (Teheran:
Mu`âwanah al-Riâsah lil`Alâqah al-Daulah fî Mundzimah al-Â`lam al-Islâmî,
1985).
[10] lihat, Fahd ibn `Abdurrahmân ibn Sulaimân al-Rûm, Ittijâhât
al-Tafsîr fî Qarn al-Râbi` `Asyr (Riyad: Maktabah Rusyd, 2002), jilid I.
Buku ini mengkaji tafsir-tafsir yang lahir pada abad 14 hijriah. Dari studi ini
terlihat bahwa nalar tafsir-tafsir tersebut masih terkungkung di dalam konteks
aliran fikih dan teologi. Perdebatan yang kuat masih memperjuangkan kesucian,
keadilan dan keagungan Tuhan.
[11] Muhammad `Âbid Al-Jâbirî, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabî:
Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzhûm al-Ma`rifah fi al-Tsaqâfah
al-‘Arabiyyah (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabî, 1993), h. 306.
[12] Ibid., h. 315.
[13] Nashr Hâmid Abû Zayd, Naqd al-Khithâb al-Dînî (Kairo:
Sina li al-Nashr, 1994), h. 926.
[14]Kajian tentang teologi di dalam Islam, terutama teologi di era
klasik, teologi Muktazilah, Asy’ariah, Qadariah dan Jabariah, sesungguhnya
tidak bisa dilepaskan dari kajian tentang problem penafsiran atas kitab suci
yang mereka lakukan. Hal ini penting disadari karena pertentangan antaraliran
di dalam sejarah Islam selalu mengaitkan diri pada dasar pijak yang sama, yaitu
teks Al-Qur’an. Ini berarti ada nalar penafsiran dan pilihan ayat yang berbeda
sehingga melahirkan paham-paham yang beragam.
[15] Hal ini bisa disimak dalam Farid Esack, Qur’an, Liberation &
Pluralism: An Islamic Perspective of Interrelegious Solidarity against
Oppression, 1997. Buku ini telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia
berjudul Membebaskan yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman (Bandung:
Mizan, 2000).
[16] Masdar F. Mas’udi, “Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris”
Kata Pengantar dalam Veri Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama
untuk Praksis Pembebasan (Jakarta: P3M, 2004), h. xviii.
[17] Ibid., h. 94.
[18] Masdar F. Mas’udi, “Eksplorasi Paradigma dan Metodologi Islam
Emansipatoris”, Makalah, 2002.
[19] Muslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1995), h. 198.
[20] Dalam teologi pembebasan lebih menekankan pada praksis daripada
teoritisasi metafisis yang mencakup hal-hal yang abstrak dan konsep-konsep yang
ambigu. Praksis yang dimaksud adalah sifat liberatif dan menyangkut interaksi
dialektis antara “apa yang ada” dan “apa yang seharusnya”. Menafsirkan tauhid
bukan hanya sebagai keesaan Tuhan, namun juga sebagai kesatuan manusia yang
tidak akan benar-benar terwujud tanpa terciptanya masyarakat yang adil.
Selengkapnya, lihat Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj.
Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
[21] Masdar F. Mas’udi, “Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris”
Pengantar dalam Veri Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk
Praksis Pembebasan, h. xvii.
[22] Louis Brenner (ed.), Muslim Identity
and Social Change in Sub-Saharian Africa, 1993, h. 5-6).
[23] Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Bandung: Mizan, 1991), h. 284.
[24] Farid Esack, “Contemporary Religious Thought in South Africa and
The Emergence of Qur’anic Heremeneutical Notions”, dalam ICMR., Vol. 2,
no. 2, Desember 1991.
[25] Raif Khoury, al-Thahârah al-Qawmi al-`Arabî, Nahnu
Hummatuh wa Mukammiluh, dikutip oleh Asghar Ali Engineer, dalam Islam
dan Teologi Pembebasan, h. 5.
[26] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika
hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003), h. 248-9.
[27] Hassan Hanafi, Dirâsah Islâmiyyah (Kairo: Maktabah Al-Anjilu
al-Mishriyyah, 1981), h. 69.
[28] Shahîh Muslim, Kitâb Zakâh, hadis nomor 1648,
diriwayatkan dari Abu Hurairah.
مَا
مِنْ صَاحِبِ كَنْزٍ لاَ يُؤَدِّي زَكَاتَهُ إِلاَّ أُحْمِيَ عَلَيْهِ فِي نَارِ
جَهَنَّمَ فَيُجْعَلُ صَفَائِحَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبَاهُ وَجَبِينُهُ ….