HUKUM PIDANA DAN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA:
Tinjauan dan studi banding tentang sistem peradilan
negara
Kesemakmuran Australia dan Republik Indonesia (RI)
Untuk
memenuhi sebagian persyaratan
Untuk
program tingkat 8 Bahasa Indonesia
Pusat
Bahasa, Universitas Mataram
Oleh:
Adam J. Fenton
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan teori
dan proses peradilan hukum pidana yang dilaksanakan di Republik Indonesia, dari
tahap pertama dimana sebuah berkas diserahkan kepada lembaga penuntan
(kejaksaan) dari lembaga penyidikan (kepolisian) sehingga diputuskan oleh
hakim/pengadilan. Penulis juga bertujuan untuk menggambarkan beberapa perbedaan
antara sistem peradilan yang dilaksanakan di Australia dibanding dengan
Indonesia.
Pendahuluan
Setelah melakukan wawancara dengan beberapa
pihak yang terlibat dalam sistem peradilan di RI, misalnya dosen hukum, hakim,
jaksa dan pengacara, data-data dan hasil observasi di Pengadilan Negeri,
Lembaga Permasyarakatan dan sumber lainnya, penulis bertujuan untuk menulis
laporan yang menjelaskan dasar-dasar hukum pidana Indonesia, baik hukum acara pidana
maupun hukum pidana materiil, dan gambaran beberapa perbedaan antara sistem
peradilan yang dilaksanakan di Australia dan RI.
Dasar-dasar
Hukum Pidana Indonesia
Sistem peradilan Indonesia berdasarkan
sistem-sistem, undang-undang dan lembaga-lembaga yang diwarisi dari negara
Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga ratus
tahun.
Seperti dikatakan oleh Andi Hamzah:[1]
Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun,
tetapi dipisahkan dalam sistem hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu
Belanda dan Inggris. Akibatnya, meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil
ciptaan bangsa Indonesia sendiri, namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada
sistem Eropa Kontinental (Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura
bertumpu kepada sistem Anglo Saxon.
Walaupun bertumpu pada sistem Belanda,
hukum pidana Indonesia modern dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum
pidana acara dan hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat
disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law” dan hukum pidana materiil
sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab
masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.
Apalagi, hasil wawancara yang dilakukan
dengan dosen-dosen di Fakultas Hukum Universitas Mataram (UNRAM)[2]
menyatakan bahwa keadaanya Rancangan Undang Undang (RUU) yang sedang dibahas
dan dipertimbangkan oleh anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada
tingkat nasional, akan tetapi RUU tersebut belum dapat disahkan. Menurut M.
Lubis:[3]
“’The new draft laws’, atau RUU KUHP baru itu telah
disesuaikan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia termasuk nilai-nilai agama,
nilai adat dan lagi pula disesuaikan dengan Pancasila.”
Namun RUU KUHP baru memunculkan beberapa
hal yang sangat menarik terkait dengan perubahan-perubahan yang dapat terjadi
pada sistem hukum pidana dan patut didiskusikan, kenyataannya adalah sampai
sekarang RUU tersebut belum dilaksanakan. Menurut keterangan dari beberapa sumber,
RUU tersebut telah diajukan kepada DPR Jakarta selama kurang lebih dua puluh tahun
dan belum dapat disepakati apalagi disahkan.
Maka dari itu, untuk sementara KUHAP dan
KUHP merupakan undang-undang yang berlaku dan digunakan oleh lembaga lembaga
penegak hukum untuk melaksanakan urusan sehari-hari dalam menerapkan hukum
pidana di Indonesia.
KUHAP (dibedakan dari KUHP), menentukan prosedur-prosedur
yang harus dianut oleh berbagai lembaga yang terlibat dalam sistem peradilan
misalnya hakim, jaksa, polisi dan lain-lainnya, sedangkan KUHP menentukan
pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan yang berlaku dan dapat
diselidiki ataupun dituntut oleh lembaga-lembaga tersebut.
Sebagai contoh hendaklah kita membaca Pasal
340 dari KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa orang, sebagai berikut:[4]
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan
lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana,
dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya
dua puluh tahun.[5]
Dari Pasal tersebut dapat kita lihat bahwa
isi KUHP adalah persyaratan dan ancaman (sanksi) substantif yang dapat
diterapkan oleh penegak hukum. Sebaliknya KUHAP menentukan hal-hal yang terkait
dengan prosedur; sebagai contoh Pasal 110 tentang peranan polisi dan jaksa:[6]
“Dalam hal penyidik telah selesai melakukan
penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut
umum”.
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan
Bapak Dedy Koesnomo dari Kejaksaan Tinggi, Propinsi Nusa Tenggara Barat[7]
dapat kita lihat bahwa dalam kenyataan, sebuah hasil penyidikan dalam bentuk
berkas dari pihak kepolisian didahului dengan sebuah Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan atau SPDP. Itulah langkah pertama dari kepolisian untuk
menjalankan sebuah perkara pidana. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah berkas
lengkap yang mengandung semua fakta dan bukti terkait dengan kasusnya. BAP
tersebut akan menyusul SPDP biasanya dalam waktu kurang lebih tiga minggu.
Setelah diterima oleh pihak kejaksaan, (untuk tindak pidana ringan biasanya
pada tingkat kejaksaan negeri) barulah kejaksaan dapat meneliti berkasnya dan
menyatakan jika BAPnya lengkap dan patut dilimpahkan kepada pengadilan, atau
dikembalikan kepada kepolisian disertai petunjuk-petunjuk supaya dapat
diperbaiki dan diserahkan lagi.
Jika sebuah BAP telah diteliti oleh jaksa
dan dinyatakan cukup bukti untuk melimpahkan perkaranya kepada pengadilan maka
pertanggungjawaban untuk kasus tersebut beralih dari pihak kejaksaan kepada
pihak kehakiman dan pengadilan.
Acara
Persidangan Pidana
Ketika sebuah perkara sudah sampai di
pengadilan negeri proses persidangannya adalah sebagai berikut: Penentuan hari
sidang dilakukan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk
menyidangkan perkara.[8]
Kejaksaan bertanggungjawab untuk meyakinkan terdakwa berada di pengadilan pada
saat persidangan akan dimulai. Maka kejaksaan wajib mengurus semua hal terkait
dengan mengangkut terdakwa dari Lembaga Permasyarakatan (penjara) ke
pengadilan, dan sebaliknya pada saat persidangan selesai. Di Pengadilan Negeri
diadakan beberapa ruang tahanan khususnya untuk menahan tahanan sebelum dan
sesudah perkaranya disidang.
Surat dakwaan yang menyatakan
tuntutan-tuntutan dari kejaksaan terhadap terdakwa dibaca oleh jaksa. Pada saat
itu terdakwa didudukkan di bagian tengah ruang persidangan berhadapan dengan
hakim. Kedua belah pihak, yaitu Penuntut Umum (jaksa) dan Penasehat Hukum
(pengacara pembela) duduk berhadapan di sisi kanan dan kiri. Setelah dakwaan
dibaca, barulah mulai tahap pemeriksaan saksi. Terdakwa berpindah dari
posisinya di tengah ruangan dan duduk di sebelah penasehat hukumnya, jika
memang dia mempunyai penasehat hukum. Jika tidak ada, dialah yang menduduki
kursi penasehat hukum itu.[9]
Penuntut Umum akan ditanyai oleh hakim,
apakah ada saksi dan berapa saksi yang akan dipanggil dalam sidang hari itu.[10]
Jika, misalnya ada tiga saksi yang akan dipanggil, mereka bertiga dipanggil
oleh jaksa dan duduk di bangku atau kursi berhadapan dengan hakim; kursi yang
sama tadi diduduki oleh terdakwa. Kemudian hakim akan menyampaikan beberapa
pertanyaan kepada saksi masing masing. Yaitu adalah; nama, tempat kelahiran,
umur, bangsa, agama, pekerjaan dan apakah mereka ada hubungan dengan si
terdakwa. Kemudian si saksi sambil berdiri, bersumpah sekalian dengan kata
pengantar sesuai dengan agamanya, kemudian kata-kata berikut:
“Demi Tuhan saya bersumpah sebagai saksi saya akan
menerangkan dalam perkara ini yang benar dan tidak lain daripada yang
sebenarnya.”
Sambil saksi bersumpah salah satu Panitera
Pengganti akan mengangkat sebuah Al Quoran atau Kitab Suci lainnya sesuai
dengan agama mereka, di atas kepalanya. Menarik juga bahwa orang Hindu
diberikan dupa yang dipegang sambil bersumpah.
Salah satu perbedaan terkait dengan hal ini
adalah, semua saksi bersumpah pada saat bersamaan, sedangkan di Australia
setiap saksi akan bersumpah justru sebelum dia akan memberikan keterangan.
Setelah saksinya bersumpah, maka saksi
pertama duduk di bangku di depan hakim, sedangkan yang lain disuruh untuk
keluar dari ruang persidangan. Itulah saatnya pemeriksaan saksi dimulai oleh
Ketua Hakim. Ini juga merupakan salah satu perbedaan besar di antara sistem
persidangan di Australian dan RI. Di Australia peranan hakim dapat disebut
pasif. Padahal hakim di persidangan di Australia agak jarang akan bertanya
langsung kepada saksi. Sebaliknya di RI peranan hakim adalah sangat aktif.
Dialah yang mulai dengan pertanyaannya terhadap saksi. Bolehlah dia berlanjut
dengan proses interogasinya sehingga dia puas dan pertanyaanya habis-habisan.[11]
Setelah hakim selesai dengan pertanyaannya dia memberikan kesempatan kepada jaksa
untuk memeriksa saksi, disusul oleh penasehat hukum.
Pada akhir pemberian keterangan dari saksi
masing masing, si terdakwa akan diberikan kesempatan untuk menanggapi
keterangan tersebut. Dalam perkara yang ditonton oleh penulis, Hakim akan
menyimpulkan keterangan yang telah diberikan dengan mengatakan misalnya:
“Kita semua telah mendengar saksi mengatakan bahwa
pada tanggal 23 November kemarin dia membeli narkotika dari anda dalam bentuk
dua ‘pocket’ ganja di rumah anda dan anda menerima uang sebanyak Rp40,000.
Bagaimana anda menganggap keterangan itu? Benar atau tidak benar, setuju atau
tidak setuju?”
Kemudian terdakwa diperbolehkan untuk menyampaikan
tanggapannya terhadap keterangan tersebut. Setelah itu, saksi diminta untuk
turun dari kursinya dan duduk di bagian umum di belakang.
Proses ini berlanjut sehingga semua saksi
dari kejaksaan telah memberikan keterangannya. Kemudian penasehat hukum juga
diberi kesempatan untuk memanggil saksi yang mendukung atau membela terdakwa,
dengan proses yang sama sebagaimana digambarkan di atas. Setelah semua saksi
memberikan keterangan, tahap pemeriksaan saksi selesai dan perkara akan ditunda
supaya jaksa dapat mempersiapkan tuntutannya. Tuntutan adalah sebuah
rekomendasi dari jaksa mengenai sanksi yang dimintai dari hakim. “Setelah itu
giliran terdakwa atau penasehat hukumnya membacakan pembelaanya yang dapat
dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat
hukumnya mendapat giliran terakhir.”[12]
Jika acara tersebut sudah selesai, ketua majelis
menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup. Setelah itu para hakim harus
mengambil keputusan. Keputusannya dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau hari
lain, setelah dilakukan musyawarah terakhir diantara para hakim. Jika dalam
musyawarah tersebut para hakim tidak dapat mencapai kesepakatan, keputusan
dapat diambil dengan cara suara terbanyak. Oleh sebab itu selalu diharuskan
jumlah hakim yang ganjil, yaitu tiga, lima ataupun tujuh hakim. Keputusan para
hakim ada tiga alternatif: [13]
1.
Perkara terbukti – terdakwa
dihukum
2.
Perkara tidak terbukti –
terdakwa dibebaskan
3.
Perbuatan terbukti tetapi tidak
perbuatan pidana – terdakwa dilepas dari segala tuntutan (Onslag).
Berdasarkan teori pembuktian undang undang
secara negatif, keputusan para hakim dalam suatu perkara harus didasarkan
keyakinan hakim sendiri serta dua dari lima alat bukti. Pasal 183 KUHAP
berbunyi sebagai berikut:
“Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”
Lima kategori alat bukti tersebut adalah:
a.
keterangan saksi
b.
keterangan ahli
c.
surat
d.
petunjuk
e.
keterangan terdakwa
Setelah memutuskan hal bersalah tidaknya,
hakim harus menentukan soal sanksinya, berdasarkan tuntutan dari jaksa dan
anggapannya sendiri terhadap terdakwa. Tergantung pendapatnya, hakim dapat
menjatuhkan pidana yang lebih ringan ataupun lebih berat daripada tuntutan
jaksa.
“Hakim harus menilai semua fakta-fakta. Misalnya dalam
perkara pencurian, perbuatannya mungkin terbukti, tetapi hakim berpendapat
bahwa terdakwa tidak melakukannya untuk berfoya-foya, melainkan untuk anaknya
yang sakit. Kalau begitu, dapat dia ringankan tuntutan dari Jaksa, misalnya
dari sepuluh bulan, menjadi delapan bulan. Lagi pula hakim dapat melebihi
tuntutan dari jaksa...semuanya tergantung perbedaan persepsi.” [14]
Demikianlah prosesnya hukum acara pidana
secara garis besar sehingga terdakwa dibuktikan bersalah atau tidak bersalah.
Jika memang ia terbukti bersalah, apalagi dijatuhkan hukuman penjara[15]
maka ia akan dibawa ke Lembaga Permasyarakatan untuk menjalani hukumannya.
Proses
Pelaksanaan Sanksi Pidana
Setelah melakukan kunjungan ke Lembaga
Permasyarakatan (Lapas) di Mataram penulis dapat melihat secara langsung
keberadaan para napi di dalam penjara Indonesia, suatu pengalaman yang sangat
menarik. Ketika diwawancarai oleh penulis Kepala Lembaga Permasyarakatan
(Kalapas) Purwadi menegaskan bahwa orang orang yang ditahan dalam Lapas dipisah
dalam dua kategori yaitu:
1.
Tahanan – dimana perkaranya
masih berlanjut pada tahap persidangan dan belum ada keputusan dari hakim
2.
Narapidana (Napi) – terpidana
yang sudah dijatuhkan keputusan dan hukuman penjara oleh pengadilan
Purwadi menerangkan bahwa di Lapas Mataram
pada saat diwawancarai ada 571 orang dalam penahanan. Sebagai berikut:
Pria Wanita Total
Tahanan 238 17 225
Narapidana 296 20 316
Total 534 37 571
Narapidana pria yang ditahan di Lapas
Mataram kemudian dipisahkan dua kategori lain berdasarkan kriminalitasnya;
yaitu narapidana yang dihukum untuk kejahatan narkotika, dan yang lain misalnya
pencurian, lalu lintas, penipuan, pembunuhan, ‘togel’ (‘toto gelap’, judi) dan
sebagainya. Purwadi mengatakan bahwa ini merupakan salah satu upaya untuk
“memotong jaringannya” penjahat narkotika, yang diduga akan mendorong napi lain
untuk mencoba narkotika dan oleh sebab itu memperluas jaringannya. Kalapas
tersebut juga menegaskan bahwa penjahat narkoba merupakan 35% dari jumlah
narapidana laki-laki. Penulis dapat melihat secara langsung bahwa penjahat
narkotika tersebut ditahan dalam lima buah kamar dengan jumlah orang sehingga
lebih dari 30 orang per kamar, apalagi kamar mandi dan WC terletak di dalam kamar
tersebut. Untuk tempat tidurnya, narapidana dapat memakai sebuah tikar yang
terbentang di atas lantai yang terbuat dari beton.
Salah satu petugas, Kusnan, menjelaskan
bahwa setiap kamar ada wali; salah satu petugas yang bertanggung jawab atas
kamar tersebut. Wali tersebut ditugaskan untuk mendengar keluhan keluhan dari
narapidana, menetapkan aturan tata-tertib di dalam kamar dan mengurus semua hal
terkait dengan jangka penahanan untuk narapidana masing masing, baik cuti
bersyarat, pelepasan bersyarat maupun remisi.
Petugas Lapas menerangkan bahwa setiap hari
para narapidana dapat keluar dari kamar untuk dua jam di sore hari untuk
berolahraga di halaman tengah. Kemudian untuk para narapidana setiap Selasa,
Kamis dan Minggu, ada jam kunjungan untuk keluarga dari jam 09:00 s/d 13:30.
Keluarga para narapidana dapat memberikan makanan dan barang barang lain
misalnya kue kue, sikat gigi dan lain lainnya, setelah diperiksa di ruang
geledah.
Purwadi menegaskan bahwa Lapas Mataram
sebetulnya dirancang untuk menahan 350 orang, akan tetapi pada saat kunjungan
ada hampir 600 orang yang ditahan. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa Lapas
Mataram sedang “over capacity” (melebihi kapasitasnya). Kalapas juga mengatakan
bahwa fasilitas-fasilitas di lapas sangat terbatas maka program-program
pembinaan ataupun rehabilitasi berkurang. Walaupun begitu, Lapas Mataram
dilengkapi dengan suatu bengkel dimana para narapidana dapat bekerja, misalnya memperbaiki
atau mencuci baik sepeda motor maupun mobil.
Kesimpulan
Secara garis besar, proses peradilan antara
Australia dan Republik Indonesia agak mirip. Ada Lembaga Penyidikan
(Kepolisian) yang bertanggungjawab mendeteksi dan menyelidiki kejahatan,
kemudian ada Lembaga Penuntutan (di Australia sejajar dengan “Department of Public
Prosecutions”) yang bertanggungjawab atas memeriksa berkas-berkas yang diajukan
dari Lembaga Penyidikan sebelum perkaranya dapat dilimpahkan ke pengadilan. Ada
juga Lembaga Pemutus Perkara, atau pengadilan yang bertanggungjawab memutuskan
bersalah tidaknya seorang terdakwa. Meskipun demikian ada pula cukup banyak
perbedaan dalam rincian teknis pada setiap tahap dari proses peradilan di dua
negara tersebut. Penulis berharap bahwa laporan ini berhasil untuk
menggambarkan dan menjelaskan beberapa perbedaan tersebut.
Daftar
Pustaka
- Prof. Dr. jur Andi Hamzah Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua Sinar Grafika, Jakarta 2008)
- R. Sugandhi, SH, KUHP dan Penjelasannya (Usaha Nasional, Surabaya 1981)
- Drs. P.A.F Lamintang, S.H. Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia (PT Citra Aditya Bakti, Bandung 1997)
- Wawancara dengan:
- Lalu Parman SH. MH. Staf Pengajar Fakultas Hukum UNRAM, 27 Januari 2009
- M. Lubis, SH. M.Hum Staf Pengajar Fakultas Hukum UNRAM 27 Januari 2009
- Suryanto SH. M.Hum Ketua Pengadilan, Pengadilan Negeri 1A Mataram 28 Januari 2009
- Mion Ginting SH. MH. Hakim Pengadilan Negeri 1A Mataram 30 Januari 2009
- Dedy Koesnomo SH. MH. Kepala Bagian Tata Usaha Kejaksaan Tinggi NTB 5 Februari 2009
- Purwadi Kepala Lembaga Permasyarakatan (Kalapas) Lembaga Permasyarakatan Negeri Mataram 2 Februari 2009
[1] Prof. Dr. jur Andi Hamzah Hukum
Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua Sinar Grafika, Jakarta 2008) Hal 33
[2] Wawancara terpisah dengan Dosen-dosen Fakultas Hukum UNRAM: Lalu
Parman dan M. Lubis, SH.,M.Hum pada tanggal 27 Januari 2009.
[3] Ibid.
[4] R. Sugandhi, SH, KUHP dan
Penjelasannya (Usaha Nasional, Surabaya 1981) Hal 357
[5] Dengan pemakaian kata “selama-lamanya” maka kita memahami bahwa itu
adalah ancaman hukuman yang paling maksimal yang dapat hakim jatuhkan kepada
terdakwa – sedangkan hukuman minimal tak ada sekalipun. Ialah merupakan salah
satu perbedaan penting yang disampaikan oleh dosen hukum ketika diwawancarai,
sebab RUU KUHP akan menentukan ancaman baik minimal maupun maksimal untuk
setiap kejahatan masing masing. Menurut Bapak Lubis sesuai dengan KUHP sekarang
“baik mencuri sapi maupun ayam, ancamannya sama. Minimalnya satu hari saja! Itu
adalah kebebasan yang sangat besar. Para Hakim harus dikasih batas minimalnya.
Kecuali dalam undang-undang khusus misalnya korupsi, narkotika ataupun money
laundering dimana sudah tercatat ada minimal dan maksimalnya.”
[6] Andi Hamzah Op. Cit. Hal
79
[7] Wawancara dengan Dedy Koesnomo SH, MH, Kepala Bagian Tata Usaha
Kejaksaan Tinggi NTB pada tanggal 5 Februari 2009.
[8] Ketika diwawancarai oleh penulis Ketua Pengadilan Mataram Suryanto
SH, MHum, mengatakan di Pengadilan Negeri Mataram pada saat wawancara ada 11
hakim yang tersedia untuk ditugaskan menyidangkan perkara, padahal seharusnya
paling sedikit ada 15 hakim. Ketersediaan hakim ditentukan oleh Departemen
Kehakiman kantor pusat Jakarta, sehingga kebanyakan hakim yang ditugaskan ke
suatu lokasi biasanya tidak berasal dari lokasi tersebut, dan ditugaskan selama
3 tahun kemudian dimutasi ke tempat lain. Suryanto juga mengatakan bahwa terkadang
jika ada saksi atau terdakwa dari desa terpencil yang tidak dapat berbicara
bahasa Indonesia, maka diperlukan juru bahasa untuk menerjemahkan dari bahasa
suku daerah ke bahasa Indonesia.
[9] Sebetulnya ada banyak perbedaan secara fisik diantara sebuah ruang
sidang di RI dan Australia, baik letakan saksi, penuntut umum, pengacara maupun
suasananya secara umum. Misalnya pada awal persidangan Ketua Majelis menyuruh
semua orang untuk mematikan atau mendiamkan telfon genggamnya. Padahal sering
terdengar suara telfon berbunyi dari bagian umum dan orang cepat keluar untuk
mengangkat telfonnya! Di Australia setiap kali orang ingin keluar atau masuk
ruang sidang diharuskan menunduk kepada Hakim sebagai tanda kehormatan. Di
Indonesia, orang keluar-masuk ruangannya dengan sangat bebas tanpa memberi
hormat kepada para hakim. Apalagi, sering dilihat orang-orang yang ‘nongkrong’
diluar pintu terbuka ruang sidang, berbicara dengan teman, bahkan tertawa
iseng-iseng.
[10] Dari observasi penulis di Pengadilan Negeri Mataram dapat dikatakan
bahwa dalam kasus yang lebih berat, atau rumit bisa terjadi banyak saksi yang
dipanggil sehingga suatu perkara akan berlanjut pada beberapa hari. Beda dari
proses di Australia, sering terjadi persidangan terpisah tersebut tidak
dipersidangkan pada hari-hari berurutan, tetapi beberapa saksi pada hari
tertentu kemudian perkaranya ditunda selama beberapa hari sebelum mulai lagi.
Biasanya di Australia kalau bisa persidangan dilanjutkan pada hari berikutnya.
[11] Di salah satu kasus korupsi dimana terdakwa adalah mantan Gubernur
NTB proses interogasi ini dari pihak hakim (tiga hakim – Ketua Majelis
didampingi oleh dua Anggota Hakim) berlanjut selama lebih dari tiga jam untuk
satu saksi. Barulah setelah itu pihak jaksa ataupun penasehat hukum diberikan
kesempatan untuk memeriksa saksinya.
[12] Andi Hamzah Op. Cit. Hal
282
[13] Wawancara dengan Dedy Koesnomo Op.Cit.
[14]. Ibid.
[15] Seperti dikatakan oleh Pak Mion Ginting SH MH Hakim Pengadilan
Negeri Mataram, dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 30 Januari 2009,
memang ada hukuman yang tersedia untuk hakim selain hukuman penjara. Pasal 10
KUHP menjelaskan jenis jenis hukuman termasuk; hukuman mati, seumur hidup,
penjara, denda dan hukuman ringan, seperti pidana bersyarat dimana hukuman
penjaranya tidak harus dijalankan terlebih dahulu bilamana selama waktu yang
disyaratkan oleh hakim dia tidak melakukan kejahatan apapun, maka hukuman
tersebut akan dihapus (di bahasa Inggris hukuman macam ini disebut “suspended
sentence”). Kemudian ada hukuman kurungan dimana terpidana masuk ke penjara
pagi tetapi diperbolehkan untuk pulang pada waktu malam hari, di Australia sama
sekali tidak ada hukuman sejenis ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar